Penulis : Rahayu Saraswati
Biarlah saya memulai dengan menyatakan: sikap Pak Prabowo adalah sikap benar.
Pasti banyak yang langsung ‘ill-feel’ atau setidaknya menyatakan dalam hati, “ya pastilah dia katakan demikian. Dia kan keponakannya.”
Ya, yang saya maksud adalah sikap beliau terkait Ratna Sarumpaet; tapi izinkan saya untuk menjelaskan lebih lanjut. Untuk sesaat saja, lupakan bahwa yang dipersoalkan adalah pernyataan seorang tokoh perempuan, seorang aktivis. Anggap saja bahwa ada seorang teman, perempuan, dan lanjut usia yang menyampaikan secara langsung/tatap muka bahwa ia telah dianiaya atau mengalami kekerasan fisik yang brutal beberapa hari yang lalu, bahwa ia tidak berani untuk melaporkan kepada pihak yang berwewenang karena takut diakibatkan trauma yang ia alami dan masih ia proses, dan bahwa ia tidak ingin ini diangkat ke ranah publik dengan kekhawatiran atas dampak kepada keluarganya, anak dan cucunya.
Setiap aktivis perlindungan perempuan dan anak pasti tidak asing lagi dengan hal seperti itu karena seringkali inilah yang terjadi kepada para korban kekerasan: intimidasi, tekanan, takut, trauma, stigmatisasi, reviktimisasi, dan isolasi, di antara yang lainnya.
Konteks yang saya angkat adalah sikap Pak Prabowo sebagai seorang pemimpin laki-laki yang mendengar dan memperoleh informasi dari seorang tokoh perempuan yang selama ini dikenal sebagai orang yang tidak gampang terintimidasi, ‘fearless’ bahkan, dan vokal sebagai aktivis selama bertahun-tahun. Sepak terjang seorang Ratna Sarumpaet membuat perkataannya, sekalipun tidak selalu disepakati, setidaknya membawa makna dan (selama ini) kredibilitas yang layak diperhatikan dan didengar.
Pak Prabowo tidak sekadar mendapatkan laporan, tetapi bertemu dengan yang bersangkutan untuk mendapatkan penjelasan secara langsung. Dan saat Pak Prabowo mengunjungi Ibu Ratna, melihat kondisi fisik beliau, ibu Ratna Sarumpaet tetap menyampaikan bahwa beliau menjadi korban penganiayaan.
Di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (KS) yang saat ini sedang diperjuangkan para aktivis perlindungan perempuan dan anak, dan para aktivis HAM, lintas afiliasi politik, tertuang pasal-pasal yang menekankan perlindungan kepada korban dari segala hukum acara.
Makna yang terpenting adalah bahkan sejak pelaporan pun, sebelum ada pembuktian apapun, jika ada orang, perempuan maupun laki-laki, dari latar belakang apapun, dengan segala keberanian yang ia miliki, maju dan menyatakan dirinya sebagai korban kekerasan (tentunya dalam hal ini spesifik pada konteks kekerasan seksual), maka ia berhak dan layak, bahkan patut, mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum. Dan ini terlepas dari terbukti atau tidaknya kemudian.
Karena pembuktian tentunya akan datang pada saat penyidikan dan peradilan. Tetapi pada saat pelaporan, apa yang selama ini para aktivis perjuangkan, dan akhirnya tertuang di dalam RUU Penghapusan KS, adalah pengentasan reviktimisasi para korban kekerasan atau dengan kata lain dengarlah pernyataan korban tanpa stigma maupun pendapat subjektif terlebih dahulu.
Pada realitanya, banyak sekali korban mengalami kesulitan untuk membuktikan; apalagi jika karena trauma yang mereka alami membuat mereka takut untuk melaporkan bahkan sampai bertahun-tahun. Komnas Perempuan telah menyatakan bahwa selama tahun 2017 tercatat ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sekali lagi, 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan.
Apakah mereka semua gampang untuk dibuktikan? Tentu tidak. Itu juga mengapa RUU Penghapusan KS dirumuskan, untuk mempermudah proses pembuktian itu.
Tetapi ada satu hal yang paling relevan dengan pernyataan saya tentang sikap seorang Prabowo Subianto, yaitu keberpihakan terhadap korban. Selama ini, para aktivis perlindungan perempuan selalu menyayangkan adanya sikap yang seringkali lebih berpihak kepada pelaku dibanding kepada korban.
Contoh dari realita kasus kekerasan seksual terhadap anak di mana kita melihat aparat penegak hukum bukannya mengusut tuntas dan memidanakan, justru dengan gampangnya menyatakan sulit/tidak dapat dibuktikan dan memberikan masukan kepada pihak keluarga korban untuk menikahkan anak itu dengan sang pelaku, atau lebih baik menerima uang dari pelaku dan menarik kasusnya daripada membawa ke peradilan dan tidak mendapatkan apa-apa. Hal seperti ini pada kenyataannya tidak terjadi hanya sekali dua kali tetapi sudah terjadi berulang kali.
Atau juga realita di mana masyarakat sekitar yang seharusnya memberikan perlindungan kepada korban dan keluarga justru memberi tekanan lebih kepada korban untuk memberikan bukti, karena mungkin dianggap lebih mudah melihat seorang korban mengada-ada dibanding melihat seorang pelaku yang biasanya adalah orang terdekat pada korban bisa/tega/sudi melakukan kekerasan terhadap korban.
Maka reviktimisasi terjadi berulang kali, terkadang dari aparat penegak hukum sampai ke lapisan masyarakat sekitar. Ini yang membuat saya sedih beberapa hari belakangan ini karena dari kasus inilah terpampang jelas pola berpikir (mindset) kebanyakan orang, yang sangat disayangkan kurang atau justru tidak berpihak pada korban.
Sikap Pak Prabowo baik sebagai pemimpin, laki-laki maupun Pakde saya justru membuat saya, seorang aktivis anti perdagangan orang sejak 2009, merasa sangat bangga.
Karena setelah mendengar penjelasan langsung dari seorang “korban” kekerasan, ia memutuskan untuk berdiri di depan untuk membawa sesuatu yang seringkali dikubur dalam-dalam dan diperjuangkan dalam kegelapan ke ranah publik agar dapat diusut tuntas oleh aparat penegak hukum.
Apa yang terjadi setelah itu sangat disayangkan. Pernyataan dari Ratna Sarumpaet yang cukup mengagetkan Indonesia, bahwa ia telah berbohong bahkan ke Prabowo yang selama ini telah mendukungnya dan menganggapnya sebagai seorang teman, bahkan saat ia dituduh dan dihadapkan oleh tekanan pihak-pihak tertentu sebelumnya.
Namun, yang ingin saya angkat bukan soal kebohongan yang ia akui, tetapi dampak dari kebohongan itu kepada para korban kekerasan yang lainnya.
Bagaimana nasib korban kekerasan ke depannya? Saya berharap ini tidak akan menyurut keberanian para korban untuk melaporkan kasus yang mereka alami. Saya juga berharap aparat penegak hukum di Indonesia bisa terus berupaya untuk melakukan tugas mereka dengan baik dan tentunya dengan keberpihakan kepada korban ketimpang kepada pelaku.
Tanyakan kepada para aktivis dan pendamping korban kekerasan, realitanya adalah lebih banyak yang melaporkan berdasarkan kebenaran dibandingkan berdasarkan kebohongan, dan untuk melaporkan kasus kekerasan yang seringkali dapat menimbulkan stigmatisasi dari komunitas bahkan dari keluarga sendiri sekalipun, intimidasi dari pelaku, bahkan ancaman nyawa, membutuhkan keberanian yang luar biasa. Mari, kita sebagai masyarakat pun harus peduli terhadap sesama dan siap memberikan dukungan pada setiap korban kekerasan yang ada di sekeliling kita, bahkan atau justru terutama saat negara tidak hadir bagi mereka.
Sikap Prabowo Subianto dapat dan patut dicontoh oleh setiap laki-laki atau siapapun yang ingin melihat Indonesia yang adil dan beradab.
Ini bukan pertama kalinya pak Prabowo hadir memperjuangkan korban kekerasan; yang saya maksud adalah Wilfrida Soik. Kasus Wilfrida Soik bahkan bisa dikatakan lebih parah karena saat itu ia telah dinyatakan bersalah dan sedang menunggu hukuman mati di Malaysia atas pembunuhan yang ia lakukan terhadap majikannya.
Pak Prabowo tidak setengah-setengah membantunya walaupun mendengar kabar dari jauh, tapi justru merekrut dan memfasilitasi salah satu advokat ternama dan terbaik di Malaysia untuk memperjuangkan nasib Wilfrida Soik. Akibat kerja keras tim advokat tersebut, putusan hakim berbalik, dan Wilfrida berhasil dinyatakan tidak bersalah.
Itu terjadi karena seorang pemimpin laki-laki peduli dan tidak berhenti di situ, ia bergerak untuk membantu menegakkan keadilan bagi seorang putri bangsa. Inilah salah satu wujud dari #HeforShe yang dimaksud oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (UNWomen). []