Oleh: Agnes Marcellina, Wakil Sekretaris Jenderal PP Gekira
GEKIRA.or.id, Jakarta | Sepulang dari acara PIRA GOES DIGITAL: Pemahaman Media, Pemilu dan Demokrasi yang diadakan di Gedung DPR RI, Fraksi Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), saya naik taksi, sopirnya bernama Rizki, kuliah D3 jurusan keuangan dan perbankan.
Jalanan sangat macet, kebiasaan saya kalau naik taksi adalah selalu mengajak ngobrol sopir dan kami berbincang mengenai segala hal, pekerjaannya, keluarganya, kondisi negeri ini dalam kacamatanya, pandangan politiknya dan sampai kepada perbincangan isu hangat politik yaitu mengenai sistem pemilu proportional tertutup dan terbuka.
Sebenarnya saya sudah ingin pula menulis tentang hal ini dari sejak minggu lalu tetapi selalu saja ada kesibukan lain sehingga belum sempat meraih laptop dan membuat catatan tentang sistem pemilu terbuka atau proportional tertutup dari perspektif saya sebagai kader partai junior karena baru 10 tahun di parpol, sebagai kader partai perempuan yang sudah 2 kali mencoba nyaleg tetapi belum terpilih dan sebagai pengurus di DPP maupun sayap partai.
Bisa saja pandangan yang akan saya uraikan ini berbeda dari pandangan elite partai ataupun anggota-anggota dewan yang saat ini sedang menjabat.
Opini ini saya sampaikan sebagai bagian dari proses demokrasi bahwa di internal partai Gerindra, menyampaikan pendapat dan pikiran secara terbuka adalah untuk pendewasaan berorganisasi.
Pada akhirnya Mahkamah Konstitusi lah yang akan memutuskan dan hasilnya seperti apa semua partai politik taat dan melaksanakan.
Selalu ada kelebihan dan kekurangan dalam sistem politik.
Sejak tahun 2009 sampai dengan 2019 artinya sudah 3 x Pemilu, kita menggunakan sistem pemilu terbuka dan kalau dianalisa dengan seksama justru sistem seperti ini menjadikan Pemilu itu ibarat industri politik.
Kompetisi terjadi bukan lagi berdasarkan kualitas, loyalitas, integritas, kapasitas, intelektualitas tetapi akhirnya pertempuran di lapangan adalah lebih kepada isi tas dan popularitas.
Masyarakat Indonesia belumlah 100% melek aksara apalagi melek politik sehingga mereka kadang-kadang mendengarkan program-program caleg yang tidak masuk akal atau cenderung bohong yang seringkali juga hanya propaganda omong kosong untuk menarik simpatik agar dipilih.
Cakupan dapil ( daerah pemilihan) yang luas misalnya di dapil saya Jabar XI ( Garut, Tasikmalaya dan Kota Tasik) dengan jumlah puluhan kecamatan dan ratusan desa sulit bagi caleg untuk bisa mencapai luasan seluruh daerah sekalipun ada ratusan caleg keseluruhannya tetapi banyak pemilih yang tidak pernah bertemu seorang caleg dari partai mana pun padahal saat Pemilu, dihadapkan dengan selembar kertas berisi ratusan nama nama yang harus dia coblos tanpa mengetahui siapa pun dari nama nama tersebut.
Tentu akan lebih mudah untuk seorang pemilih memutuskan untuk mencoblos partai politik sekalipun tidak bisa membaca, mungkin dia mengenal partai politik tersebut dari logonya.
Bisa jadi mereka memilih karena sudah mengenal sosok dari pemimpin parpol tersebut, bisa jadi karena suka dengan logonya, bisa jadi pernah melihat di TV, apapun itu tetapi disinilah partai politik diberi tanggung jawab untuk menyodorkan yang terbaik kepada rakyat yang sudah memilih partai politik tersebut. Parpol bersaing untuk memberikan wakil rakyat yang berkualitas yang diharapkan dapat memberikan kontribusi maksimal di masing masing dapil.
Dalam Undang Undang No. 7 Tahun 2017 yang digunakan pada Pemilu 2019 menyebutkan bahwa peserta pemilu adalah partai politik jadi sebenarnya partai politik lah yang seharusnya mempunyai andil lebih besar untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat dan apabila wakil rakyat tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan benar maka kewenangan ada di tangan partai politik dan sewaktu-waktu parpol bisa mengganti orang tersebut.
Dengan sistem pemilu terbuka dan wakil rakyat terpilih berdasarkan suara terbanyak maka sulit atau tidak ada alasan dari parpol untuk mengganti wakil rakyat tersebut walaupun dia tidak berprestasi.
Ada hal yang paling penting dari kacamata saya sebagai pejuang politik perempuan.
Jika Pemilu proportional tertutup maka keterwakilan perempuan di parlemen sebanyak 30% seperti yang dicita-citakan tentu dapat terwujud dengan mudah dan harapannya adalah bahwa keterwakilan perempuan di parlemen akan berdampak positif bagi Indonesia ke depan dalam menentukan hal hal strategis bagi kepentingan bangsa dan negara di bidang pemberdayaan perempuan, pendidikan, ekonomi dan sosial dan lain lain.
Hal ini bisa terwujud karena parpol akan menseleksi wakil rakyat perempuan yang dianggap mampu untuk mengemban tugas tersebut.
Jika ada yang mengatakan bahwa jika sistem proportional tertutup akan menciptakan oligarki dan munculnya politik uang di internal parpol.
Menurut saya ini kembali kepada parpolnya masing masing. Kebijakan seperti apa yang akan dijalankan, reputasi apa yang ingin dicapai karena pada akhirnya seleksi mana yang terbaik akan tercipta dengan sendirinya.
Di zaman modern seperti saat ini kinerja dari partai partai politik akan diamati oleh rakyat. Jadi yang bersaing adalah partai partai politiknya dengan cara kaderisasi optimal yang akan menghasilkan kandidat dan wakil rakyat terbaik.
Gerindra mempunyai visi misi dan manifesto partai yang jelas. Prestasi Gerindra patut dibanggakan dengan sosok ketua umum Prabowo Subianto. Gerindra mempunyai pengkaderan yang sangat hebat dan luar biasa.
Gerindra mempunyai GMD (Gerindra Masa Depan), kader kader di sayap-sayap partai yang siap didistribusikan sebagai calon calon pemimpin termasuk wakil rakyat. Ini akan menjadi kerja besar elite partai untuk menjamin keberlangsungan regenerasi di internal partai.
Dalam hal ini Gerindra adalah parpol yang sudah siap dengan sistem proportional tertutup dan akan menjadi kabar gembira untuk kader-kader muda yang telah mengikuti jenjang pengkaderan di partai.
Sistem proporsional terbuka tidak diminati oleh parpol yang gagal membangun perkaderan di internal partai apalagi kalau tidak mempunyai sosok seperti Prabowo Subianto yang menjadi magnet bagi elemen-elemen masyarakat di external partai.
Jika Pemilu 2024 dilaksanakan sistem Pemilu proportional tertutup maka partai partai besar seperti Gerindra yang akan bertambah kursi di parlemen dan tentu saja partai partai baru akan tergerus dengan sendirinya.
Ini realistis. Penyederhanaan partai partai politik akan terjadi secara alamiah. Jika kita jujur apakah memang perlu kita mempunyai partai politik sebanyak saat ini yang sudah lolos di KPU sebanyak 18 parpol?
Mengapa tidak cukup dengan beberapa partai saja yang jelas dengan platform masing masing dan dari beberapa partai politik tersebut lantas bekerja sungguh sungguh untuk membangun dan berbakti kepada bangsa dan negara ini. Jakarta, 10 Desember 2022, Salam Indonesia Raya. [Red]